Umumnya para aktivis ini adalah orang-orang yang ber-proses di organisasi baik intra maupun extra kampus, mereka biasanya juga mendapatkan pelatihan dan pendidikan yang cukup dari organisasi yang diikutinya, namun demikian peran organisasi extra kampuslah yang dominan membentuk jiwa kritis lewat proses 'brainwash' oleh para senior melalui pelatihan dan pendidikan berjenjang yang dilaksanakan secara kontinu.
Nyaris saban hari mendengarkan wejangan dan Doktrin dari senior, membuat daya kritis para aktivis belia ini menggelora, tak jarang melihat hal-hal yang sedikit tidak sejalan dengan ‘idealismenya’ menyulut api semangat kritisnya. Tidak heran kebanyakan penggerak aksi unjuk rasa atau demonstrasi adalah orang-orang yang berlatar organisasi mahasiswa extra kampus.
Apakah itu salah? tentu tidak sama sekali, justru itu menjadi kebutuhan bagi sebuah bangsa dalam membangun peradaban ke arah yang lebih maju, tidak bisa dinafikan organisasi extra kampus punya peran strategis dalam mengorbitkan para pemimpin negeri ini.
Namun tidak jarang juga kita melihat pemandangan kontras sebagian dari aktivis belia, daya kritisnya kita apresiasi, namun kebiasaan hidupnya justru tidak mencerminkan dia layak menyandang gelar aktivis mahasiswa, bahwa perubahan besar dimulai dari diri sendiri dan dimulai dari hal yang kecil dan mendasar, ingin mengubah dunia? padahal merapikan tempat tidur saja ketika bangun tidur tidak mau, ingin membuat perubahan besar? Bangun lebih dulu dari ayam jago saja belum bisa, menuntut orang lain berubah? ubah dulu dirimu jadi lebih baik.