JAMBI – Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof. Eddy Hiariej pada Kamis (22/9) memberikan materi Sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Universitas Jambi (Unja).

Sosialisasi ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari usaha pemerintah dalam memberikan pencerahan dan penjelasan kepada publik terkait perlunya dilakukan harmonisasi dan modernisasi KUHP yang ada. Pemerintah melalui Kemenkumham telah dan akan melakukan sosialisasi RKHUP ini hingga ke berbagai kampus di Indonesia.


Pembahasan RKUHP sudah menapaki jalan panjang. Tahun 1958 merupakan awal dimulainya pembahasan hingga saat ini. RKUHP sendiri merupakan masterpiece dan legacy dalam proses perubahan dari KUHP peninggalan kolonial menjadi hukum nasional.


Selain itu RKUHP juga mengedepankan demokratisasi dimana setiap pembahasan substansinya yang telah melalui periode 7 Presiden, 15 Menteri, serta 17 profesor dan beberapa ahli hukum pidana yang. RKUHP juga menganut sistem modernisasi sehingga nantinya kejahatan yang ancaman pidananya kurang dari 5 tahun tidak dipenjara namun hanya dikenakan pidana pengawasan atau kerja sosial untuk pidana di bawah 6 (enam) bulan. Hal ini dilakukan dalam rangka mengurangi overcapacity hunian Lembaga Pemasyarakatan yang berada di bawah naungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.


Terdapat setidaknya 5 (lima) hal/poin penting dalam RKUHP yang disampaikan oleh Wamenkumham. Pertama, dekolonialisasi atau upaya menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi KUHP lama. Kedua, demokratisasi, yaitu pendemokrasian rumusan pasal tindak pidana dalam RKUHP sesuai Konstitusi (Pasal 28 J UUD 1945) dan Pertimbangan Hukum dari Putusan MK atas pengujian pasal-pasal KUHP yang terkait. Ketiga, konsolidasi dimana penyusunan Kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan Rekodifikasi.


Eddy juga menyebutkan Harmonisasi, sebagai bentuk adaptasi dan keselarasan dalam merespon perkembangan hukum terkini, tanpa mengesampingkan hukum yang hidup (living law) dan terakhir modernisasi yaitu Filosofi pembalasan klasik (Daad-strafrecht) yang berorientasi kepada perbuatan semata-mata dengan filosofi integratif yang memperhatikan aspek perbuatan, pelaku dan korban kejahatan (pemberatan dan peringanan pidana). (red/foto : YE/JA)

Sambangi Unja, Wamenkumham : KUHP Kita Sekarang Peninggalan Kolonial

JAMBI – Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof. Eddy Hiariej pada Kamis (22/9) memberikan materi Sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Universitas Jambi (Unja).

Sosialisasi ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari usaha pemerintah dalam memberikan pencerahan dan penjelasan kepada publik terkait perlunya dilakukan harmonisasi dan modernisasi KUHP yang ada. Pemerintah melalui Kemenkumham telah dan akan melakukan sosialisasi RKHUP ini hingga ke berbagai kampus di Indonesia.


Pembahasan RKUHP sudah menapaki jalan panjang. Tahun 1958 merupakan awal dimulainya pembahasan hingga saat ini. RKUHP sendiri merupakan masterpiece dan legacy dalam proses perubahan dari KUHP peninggalan kolonial menjadi hukum nasional.


Selain itu RKUHP juga mengedepankan demokratisasi dimana setiap pembahasan substansinya yang telah melalui periode 7 Presiden, 15 Menteri, serta 17 profesor dan beberapa ahli hukum pidana yang. RKUHP juga menganut sistem modernisasi sehingga nantinya kejahatan yang ancaman pidananya kurang dari 5 tahun tidak dipenjara namun hanya dikenakan pidana pengawasan atau kerja sosial untuk pidana di bawah 6 (enam) bulan. Hal ini dilakukan dalam rangka mengurangi overcapacity hunian Lembaga Pemasyarakatan yang berada di bawah naungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.


Terdapat setidaknya 5 (lima) hal/poin penting dalam RKUHP yang disampaikan oleh Wamenkumham. Pertama, dekolonialisasi atau upaya menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi KUHP lama. Kedua, demokratisasi, yaitu pendemokrasian rumusan pasal tindak pidana dalam RKUHP sesuai Konstitusi (Pasal 28 J UUD 1945) dan Pertimbangan Hukum dari Putusan MK atas pengujian pasal-pasal KUHP yang terkait. Ketiga, konsolidasi dimana penyusunan Kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan Rekodifikasi.


Eddy juga menyebutkan Harmonisasi, sebagai bentuk adaptasi dan keselarasan dalam merespon perkembangan hukum terkini, tanpa mengesampingkan hukum yang hidup (living law) dan terakhir modernisasi yaitu Filosofi pembalasan klasik (Daad-strafrecht) yang berorientasi kepada perbuatan semata-mata dengan filosofi integratif yang memperhatikan aspek perbuatan, pelaku dan korban kejahatan (pemberatan dan peringanan pidana). (red/foto : YE/JA)

Langganan Berita via Email